PRESS RELEASE :Seminar Rabuan – Pendekatan Inklusif pada Populasi Rentan: Jangan Biarkan Ada yang Tertinggal dalam Mencapai Kesehatan Masyarakat

Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan demi kesehatan dan kesejahteraannya, termasuk dalam hal sandang, pangan, papan dan layanan kesehatan. Namun, kenyataannya masih terdapat populasi yang rentan tidak terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar tersebut. Siapa saja yang termasuk dalam populasi rentan? Yang termasuk populasi rentan adalah orang miskin, suku terasing atau yang tinggal di tempat terpencil, ibu hamil, lansia, anak-anak, orang dengan penyakit kronis, penyandang disabilitas dan lain sebagainya.

Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM (FK-KMK UGM) menyelenggarakan webinar dengan tema “Pendekatan Inklusif pada Populasi Rentan: Jangan Biarkan Ada yang Tertinggal dalam Mencapai Kesehatan Masyarakat”, pada hari Rabu (21/10). Webinar menghadirkan tiga pembicara yaitu Dwi Ariyani, Program Officer Disability Rights Fund (DRF), Ruary A.KS, M.Kes. Kasi Rehabilitasi Sosial Anak dan Lanjut Usia, Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Tengah, dan Erlin Erlina, SIP, MA, Ph.D, sosiolog dan staf Center for Bioethics and Medical Humanities, FK-KMK UGM. Masing-masing pembicara menyoroti populasi rentan dari beragam sisi.

Menurut World Health Organization (WHO), 15% penduduk dunia adalah penyandang disabilitas. Di Indonesia, terdapat 21,5 juta penyandang disabilitas. Dwi Ariyani memaparkan bahwa sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia, hak dan kebutuhan dasarnya belum terpenuhi, tereksklusi dari lingkungan sosial, dan akses terhadap layanan publik terbatas. Sudah banyak peraturan perundangan yang menjamin hak penyandang disabilitas, namun, implementasinya perlu dioptimalkan kembali, termasuk dalam mengakses layanan kesehatan. Beliau juga menyebutkan bahwa tantangan akses kesehatan bagi penyandang disabilitas saat ini adalah masih kurangnya sarana dan prasarana yang aksesibel, masih kurangnya pemahaman akan ragam disabilitas dan kebutuhannya, kurangnya informasi yang aksesibel, dan adanya sikap atau perilaku yang mendiskriminasi penyandang disabilitas. Dwi memaparkan Perlu dukungan dan kerjasama dari seluruh pihak, untuk mendorong adanya kebijakan dan program layanan kesehatan yang inklusif yaitu antara pembuat kebijakan, penyedia layanan kesehatan dan penyandang disabilitas sebagai pengguna”

Populasi rentan lain yang dibahas adalah suku yang tinggal di daerah pedalaman. Ruary, A.KS., M.Kes. menceritakan pengalamannya dalam pemenuhan hak kesehatan bagi suku Dayak Ngaju yang merupakan komunitas adat terpencil di Kalimantan Tengah. Karakteristik suku yang tertutup, homogen, hidup bergantung pada alam, dan tinggal dalam kelompok-kelompok kecil di daerah pedalaman membuat komunitas tersebut memiliki keterbatasan dalam mengakses pelayanan sosial dasar. Kepercayaan, tradisi, dan keterbatasan informasi kesehatan menyebabkan kelompok tersebut berperilaku yang berisiko terhadap kesehatan misalnya meminum air sungai tanpa dimasak. Pendekatan oleh pemerintah setempat dilakukan bertahap dan memerlukan waktu yang relatif lama.

Aspek budaya menjadi sangat penting dalam health seeking behavior dan akses terhadap layanan kesehatan. Erlina menyampaikan bahwa bagaimana masyarakat memaknai sakit misal sebagai ujian, anugerah, dan bahkan dikaitkan dengan hal-hal mistis dapat mempengaruhi akses mereka terhadap layanan kesehatan. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari adanya persepsi di masyarakat bahwa orang yang sakit dan cacat dianggap lebih rendah, mengakibatkan adanya stigma dan diskriminasi sehingga mengeksklusi mereka dari masyarakat.

Dr.Mubasysyir Hasanbasri, Kaprodi Magister IKM FK-KMK UGM dan sebagai pembahas, menjelaskan akses terhadap kesehatan belum inklusif karena adanya budaya eksklusivitas di masyarakat. Eksklusivitas tersebut terbentuk karena kebutuhan akan identitas dan penghargaan oleh orang lain, sebagai contoh dalam pendidikan, orang menjadi rendah diri jika mereka “tidak mendapat sekolah terkenal”. Orang berlomba mencari sekolah top karena salah satunya ada identitas yang melekat, yang membuat mereka lebih “hebat” dari yang lain. Oleh karena itu, kesehatan masyarakat perlu mengoptimalkan pendekatan inklusif yang mengakomodasi semua orang sehinga ‘no one left behind’, semua orang, golongan, suku, agama, dan sebagainya dipastikan memiliki kesempatan yang sama untuk maju dan membuat dampak yang baik bagi kehidupannya. Para pembuat kebijakan perlu melibatkan populasi rentan dalam penyusunan kebijakan agar inklusif. Populasi rentan juga harus selalu dilibatkan dalam kegiatan masyarakat sehari-hari.

Webinar yang dimoderatori oleh Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, MA, ini diikuti oleh lebih dari 250 peserta dari berbagai latar belakang. Harapannya webinar ini dapat membuka wawasan dan pemahaman mahasiswa dan masyarakat umum mengenai tantangan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan populasi rentan di Indonesia, memberikan pemahaman terkait peran kesehatan masyarakat dalam upaya pendekatan terhadap populasi rentan, dan menumbuhkan kepedulian dan pemikiran kritis mengenai kesetaraan akses kesehatan bagi seluruh komunitas, khususnya populasi rentan.

Kontributor: Luthfi Azizatunnisa’ (22/10/2020)